Image default
Uncategorized

Peluang Ekspor Tanaman Hias Masih Wow, Indonesia Cuma Kuasai 0,08% Pasar Dunia

Peluang Ekspor Tanaman Hias Masih Wow,

Indonesia Cuma Kuasai 0,08% Pasar Dunia

 

Luas Singapura yang mencapai 751 kilometer persegi, memang terkesan mungil dibandingkan luas Indonesia yang mencapai 1,9 juta kilometer persegi. Namun, Singapura sanggup menguasai 5% pangsa pasar tanaman hias dunia, sementara Indonesia belum mampu mencapai 1% pun, atau tepatnya 0,08% dari pangsa pasar tanaman hias. Padahal potensi keragaman hayati di Indonesia luar biasa dahsyatnya.

Butuh kolaborasi semua pihak agar Indonesia mampu meningkatkan penjualan tanaman hias ke pasar dunia, baik pemerintah, petani, badan usaha milik negara, perusahaan swasta, hingga Lembaga keuangan. Demikian benang merah yang muncul dalam diskusi menarik pada diskusi daring Festival Ide Bisnis by Xpora BNI di Jakarta, akhir pekan lalu.

Pada saat membuka diskusi, Menteri Perdagangan M Lutfi mengungkapkan, permintaan tanaman hias secara internasional sangat besar. Namun, potensi ini belum banyak digarap di Indonesia.

Potensi nilai ekspor tanaman hias pada tahun 2021, menurutnya, senilai US$ 7,8 juta atau sekitar Rp 113 triliun jika dikonversikan pada nilai tukar Rp 14.500 per dollar AS. Namun, Indonesia hanya meraih pangsa pasar sekitar 0,08% di seluruh dunia, padahal Indonesia adalah negara agraris.

“Meskipun kita negara agraris, namun potensi tanaman hias ini belum digarap maksimal. Kejelian bisnis masih perlu dipertajam,” papar Lutfi.

Selain itu, Menteri Perdagangan juga mengingatkan akan pentingnya sesi berbagi pengalaman dari para pengekspor tanaman hias yang sudah sukses menembus pasar dunia kepada UKM lain yang ingin mengembangkan usahanya. Sesi berbagi yang disampaikan oleh Ade Wardhana Adinata Minaqu Home Nature dalam Festival Ide Bisnis by Xpora BNI perlu terus dilakukan.

Pada kesempatan diskusi tersebut, Ade Wardhana Adinata menyebutkan, gap penguasaan pasar tanaman hias Indonesia semakin lebar jika dibandingkan dengan Thailand yang telah menguasai 8%, apalagi Belanda yang sudah mencapai 40%.

Memancing gairah

Untuk memancing gairah usaha tanaman hias Indonesia, Ade Wardhana menuturkan bahwa ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama adalah meluruskan anggapan yang salah bahwa tanaman hias adalah bisnis musiman, sehingga harganya berfluktuatif. Hal itu keliru karena sebenarnya kebutuhan dunia terhadap tanaman hias terus ada.

Kedua, Kolaborasi itu penting. Minaqu bisa berkembang dengan pesat karena menjalin kerjasama dengan petani, perbankan, hingga pemerintah dan menjadikannya sebagai satu ekosistem, sehingga dapat menjawab tantangan pasar.

“Minaqu memulai usaha dari lahan seluas 126 meter persegi di rumah dengan modal awal Rp 500.000, dalam waktu 10 bulan berkembang menjadi Rp 5 miliar. Itu semua karena adanya kolaborasi. Petani berkembang karena ada dukungan perbankan, dimana BNI memberikan Kredit Usaha Rakyat Rp 50 juta per petani untuk membangun greenhouse dan dikembalikan dalam waktu 6 bulan,” ujar Ade Wardhana.

Ketiga, stigma bahwa wirausaha tanaman hias sebagai sesuatu yang sulit. Bertanam tanaman hias itu mudah, hanya perlu memperhatikan dua hal, yaitu penyiraman dan paparan cahaya matahari. Apabila memang ada serangan hama, maka ada obatnya. Saking mudahnya, tanaman hias dari Minaqu sudah sampai ke Greenland dan Kawasan ekstrim bersuhu dingin, dan tetap mampu bertahan.

“Yang paling penting, kita jangan hanya bangga dengan sumber daya genetik yang dimiliki tanpa mampu meningkatkan potensi ekonomi kita,” ujar Ade Wardhana.

Keempat, dalam memulai bisnis jangan ragu gagal. “Kadang ada mental block, jalan saja dulu, lakukan, habiskan dulu jatah gagalnya. Nanti akan bertemu keberhasilan,” ujarnya.

Dia menambahkan bahwa saat ini dunia sangat membutuhkan tanaman hias tanpa bunga, antara lain Araceae atau suku talas – talasan. Tanaman seperti ini tersebar luas di seluruh Indonesia dalam beragam jenisnya, hingga ke Papua. Tanaman ini akan mendominasi Eropa yang memanfaatkannya sebagai pabrik oksigen di ruang tertutup dan menjadikannya dekorasi yang dianggap mewah.

“Selama pandemi, permintaannya menjadi jauh lebih banyak karena ada peralihan dari memelihara hewan yang rewel karena harus merawatnya hingga ke dokter hewan. Sementara memelihara tanaman lebih sederhana,” ungkapnya.

Related posts

Kelola Limbah Plastik dengan Nuklir, Indonesia Jadi Pilot Country

dadali

Si Burung Hilang itu Kembali, Jalak Putih Sempat Hilang 15 Tahun Lalu

dadali

Teten Masduki: Tahun 2022, 20 Juta UMKM Ditargetkan Go Digital

dadali
Select your currency
USD Dolar Amerika Serikat (US)