Image default
Headline Keuangan

G20 Sepakat Aturan Pajak Baru Internasional Berlaku 2023

Menunggu 1 Dekade
Lebih jauh, manfaat kesepakatan baru pada Pajak Internasional ini dijelaskan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan RI. Dalam sebuah penjelasannya yang dipublikasikan pada 15 Juli 2021, BKF menyebutkan bahwa kesepakatan pada Presidensi G20 di Italia pada tahun 2021 tersebut bernilai sejarah tinggi terkait arsitektur perpajakan internasional yang lebih adil dan stabil, yaitu Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising From the Digitalisation and Globalization of the Economy.
Dunia menanti lebih dari satu decade untuk mencapai kesepakatan Pajak Internasional tersebut. Kebijakan Pajak Internasional tersebut penting artinya karena dapat mengatasi tantangan digitalisasi dan globalisasi ekonomi, khususnya terkait mengatasi BEPS.
Kesepakatan ini mencakup 2 pilar yang bertujuan untuk memberikan hak pemajakan yang lebih adil dan berkepastian hukum dalam mengatasi BEPS akibat adanya globalisasi dan digitalisasi ekonomi tersebut. BEPS merupakan tantangan pemajakan yang dialami oleh negara-negara di dunia akibat adanya praktik penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan multinasional.
Menurut BKF, praktik penghindaran pajak ini dilakukan dengan merancang perencanaan pajak secara agresif, sehingga menimbulkan hilangnya potensi pajak bagi banyak negara. Kerugian potensi pajak negara-negara secara global diperkirakan sebesar 100 – 240 miliar dollar AS, atau setara dengan 4% – 10% PDB global.
Baca Juga:
Hak Pemajakan Bertambah
Dengan kesepakatan Pilar 1, Indonesia sebagai salah satu negara target pasar dari perusahaan multinasional, akan berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima perusahaan multinasional. Syaratnya, perusahaan multinasional ini berskala besar (minimum €20 miliar) dan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi (minimum 10 persen sebelum pajak). Dengan demikian keputusan G20 ini akan berdampak terhadap aturan pajak Indonesia.
Berdasarkan batasan atau threshold tersebut, Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh tambahan pemajakan atas penghasilan dari setidaknya 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Indonesia. Sebelum adanya kesepakatan Pilar 1, negara pasar dapat memajaki suatu perusahaan multinasional hanya bila perusahaan tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) sehingga menyebabkan kesulitan atau kecilnya kemungkinan untuk memajaki. Namun dengan adanya kesepakatan Pilar 1, hak pemajakan negara pasar tidak lagi terkendala ketentuan terkait BUT tersebut.
Selanjutnya, kesepakatan Pilar 2 ditujukan untuk mengatasi isu BEPS lainnya dengan memastikan perusahaan multinasional (yang memiliki minimum omset konsolidasi sebesar €750 juta) membayar pajak penghasilan dengan tarif minimum 15 persen di negara domisili. Pilar 2  ini menghilangkan persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau yang dikenal dengan “Race to the Bottom”, sehingga diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif. Dengan batasan atau threshold tersebut, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasilan efektif di bawah 15 persen.
“Pemerintah Indonesia cukup optimis bahwa investasi di Indonesia tetap akan bertumbuh seiring percepatan dan penguatan reformasi struktural yang berdampak positif pada peningkatan iklim usaha,” kata Kepala BKF Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.
Bagi emerging countries seperti Indonesia, aturan Paket Pajak Internasional ini penting untuk mengoptimalkan sumber penerimaan domestiknya. Penyebab rendah dan terus turunnya rasio pajak terhadap PDB Indonesia adalah belum mampunya sistem pemajakan menangkap peningkatan aktivitas ekonomi, salah satunya karena BEPS.
Berdasarkan OECD, 60 – 80 persen perdagangan internasional merupakan transaksi afiliasi perusahaan multinasional yang ditujukan untuk menghindari pajak dengan cara memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah.
“Di Indonesia, laporan wajib pajak menunjukkan bahwa 37 – 42% PDB merupakan transaksi afiliasi. Bila dibiarkan, hal ini tentunya merugikan bagi perpajakan Indonesia. Dengan adanya tambahan hak atas pemajakan dalam kedua pilar, basis pajak Indonesia akan meningkat,” tutup Febrio. (*)

Related posts

Temuan BRI, 2.000 Kecamatan Tidak Cocok Program Digitalisasi Perbankan

dadali

Indonesia Tutup WNA dari 14 Negara Untuk Tekan Omicron

dadali

Lomba Esport Terakbar Digelar, Sasar 7.000 Pelajar Main Game  

dadali
Select your currency
USD Dolar Amerika Serikat (US)