Petani Pisang Cavendish Sukabumi,
Gunakan Model Bisnis Ekosistem
Kolaborasi merjadi suatu keharusan diera yang penuh dengan kompetisi seperti saat ini. Tidak terkecuali dalam bidang pertanian. Petani Pisang Cavedish di Warungkiara, Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia menyadari pentingnya kolaborasi sehingga mereka menggunakan pola ekosistem penuh untuk menumbuhkan komoditas pisang cavendish yang mereka tanam di lahan 3 hektar tersebut.
Dengan pola ekosistem penuh ini, petani tidak lagi khawatir mencari pembeli, karena melalui dukungan Kementerian Koperasi serta Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), telah tersedia off taker atau pembeli siaga Pisang Cavendish petani, yaitu PT Great Giant Pineapple (GGP). Dengan jaminan pembeli seperti ini, maka status usaha pertanian petani Pisang Cavendish ini naik menjadi bankable. Perbankan dengan senang hati turut memberikan pembiayaan.
“Selama ini bank sulit membiayai sektor pertanian karena potensi NPL-nya tinggi,” ungkap Menteri Koperasi dan UKM RI Teten Masduki saat menanam pisang cavendish di Sukabumi, Selasa (23 November 2021).
Baca Juga Kisah Seniman yang mengembangkan seni rupa berbahan dasar pohon pisang:
Teten bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI Sofyan A Djalil menyaksikan penanaman perdana pisang cavendish tersebut di atas lahan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). TORA disiapkan pemerintah untuk usaha produktif yang berusaha dalam wadah Koperasi.
“Kita perkuat sektor pangan nasional. Para petani kita konsolidasikan ke dalam koperasi, untuk menanam produk unggulan kualitas ekspor. Koperasi juga terhubung dengan offtaker dan lembaga pembiayaan bank,” kata Teten.
Dengan adanya model bisnis ekosistem tersebut, petani yang hanya memiliki lahan sempit pun akan menerima manfaatnya. Pola ini akan menjadi percontohan dalam membangun Korporatisasi Pangan. Contoh yang terjadi di Sukabumi ini, para petani Pisang Canvendish bersatu dalam wadah koperasi, yaitu Koperasi Agro Tora Wajasakti.
Pisang Canvendish yang dipanen petani akan dikumpulkan di Koperasi Agro Tora Wajasakti. Selanjutnya, Koperasi terhubung dengan korporasi GGP sebagai offtaker. Model bisnis ini sama dengan Kampung Pisang di Tenggamus, Provinsi Lampung yang memulai usaha dari lahan 10 hektar, namun kini sudah 400 hektar dengan 800 petani pengolahnya. Di Lampung, terdapat koperasi yang menjadi tempat pengumpul pisang, yaitu Koperasi Tani Hijau Makmur.
Sementara itu, Sofyan Djalil berharap, para petani di Warungkiara bisa bekerja sesuai petunjuk dari PT GGP agar meraih sukses. “Selama ini petani sulit diangkat. Sekarang, sudah ada offtaker dan teknologi. Sehingga, kualitas hasilnya sama sesuai standar internasional,” ujar Sofyan.
Logistik Mahal
Direktur PT GGP Welly Soegiono bercerita,”Saat ini, di Tenggamus, kami rutin dua kali dalam seminggu mengekspor pisang sebanyak 1 kontainer. Saya optimis, di Sukabumi bisa sukses juga,” ujarnya.
Namun, Welly mengeluhkan adanya kendala logistik (shipping), karena 90% jalur ekspor itu masih melalui laut. “Barang ada, pembeli ada, tetapi masih terhambat masalah logistik yang lama dan mahal. Ini harus segera dipecahkan bersama,” tutupnya.
Sedangkan Ketua Koperasi Agro Tora Wajasakti Puloh Saepul Anwar mengatakan bahwa dirinya bersama jajaran pengurus lainnya bisa memahami model bisnis ini setelah diajak studi banding ke Lampung. “Kita dikenalkan namanya offtaker, hingga pendampingan. Sehingga, bisa menciptakan nilai ekonomi yang bagus,” kata Saepul.
