Moody’s: Peringkat Utang RI Tetap Baa2 Outlook Stable, Baik Dibanding Negara yang Turun Peringkat
BIKINRILIS.COM — Lembaga pemeringkat Moody’s mempertahankan peringkat (rating) kredit Indonesia pada posisi Baa2 outlook stable. Peringkat terbaru tersebut tergolong cukup baik dibandingkan banyak negara yang mengalami pemburukan peringkat ke outlook negative atau bahkan downgrade sebagai dampak pandemi sepanjang tahun 2020 hingga 2021.
Pada tahun 2022, lembaga rating telah melakukan penurunan rating sebanyak 7 kali pada 6 negara dan 1 revisi outlook menjadi negative pada 1 negara oleh tiga Lembaga pemeringkat kredit utama yaitu S&P, Fitch, dan Moody’s. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun pemulihan ekonomi mulai terjadi, namun ketidakpastian masih tinggi.
Baca Juga:
INDY Raih Kucuran Kredit Sindikasi US$ 70 Juta
BNI Kucurkan Kredit untuk Garudafood Rp 1 Triliun
Incar Kredit Digital, AGRO Right Issue Target Raup Rp 1,1 Triliun
Peringkat kredit Indonesia oleh Moody’s ini didukung oleh kondisi perekonomian yang terbukti resilient dan juga ekspektasi Moody’s terhadap efektivitas kebijakan makroekonomi dan kebijakan moneter yang terus dijaga untuk menghadapi risiko trend kenaikan suku bunga global ke depan. Reformasi pajak (antara lain Undang – undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP) yang telah disahkan diharapkan mampu menjadi sumber peningkatan pendapatan negara ke depan.
Demikian diungkapkan Kementerian Keuangan Republik Indonesia dalam siaran pers yang dikutip pada Minggu (13 Februari 2022).
Moody’s memproyeksikan, perekonomian Indonesia akan kembali tumbuh pada 5% dalam dua tahun mendatang, atau kembali ke kecepatan pertumbuhan pra-pandemi, ini lebih tinggi ketimbang rata-rata negara dengan rating Baa2 yaitu 3,7%. Moody’s mengharapkan reformasi struktural akan mendorong investasi dan daya saing ekspor, serta mengurangi scarring effect dalam perekonomian.
Moody’s juga memprediksi akan terjadi perlambatan pertumbuhan pendapatan karena penurunan harga komoditas, sehingga pelonggaran belanja akan mendorong konsolidasi defisit fiskal menjadi 3,8% terhadap PDB pada 2022. Hal ini akan memuluskan jalan pemerintah mencapai pagu defisit 3,0% pada tahun 2023.
Arah dan laju upaya reformasi, khususnya untuk mendorong produktivitas modal dan tenaga kerja, akan menentukan sejauh mana peningkatan potensi pertumbuhan. Reformasi kebijakan selama dua tahun terakhir diarahkan pada perbaikan lingkungan investasi dan meningkatkan pendapatan.
Baca Juga:
Tenor Hingga 10 tahun, TPIA Raih Fasilitas Balloon Payment USD 250 Juta dari BBNI
Paska Holding Ultra Mikro Terbentuk, Kredit UMKM BRI Mendominasi 82,67%
Pada tahun 2020, pemerintah mengesahkan Undang-undang Cipta Kerja yang bertujuan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan investasi melalui 51 peraturan baru, menandai langkah penting dalam menangani isu-isu seputar iklim usaha dan secara keseluruhan daya saing. Selain itu, reformasi fiskal yang bertujuan untuk meningkatkan basis pendapatan dan meningkatkan efisiensi pengeluaran akan menciptakan sumber pembiayaan yang lebih besar untuk investasi dan mendukung pertumbuhan utama.
Pada akhir tahun 2021, pemerintah mengesahkan UU HPP yang diharapkan akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan penerimaan negara. Akhir tahun lalu juga telah disahkan Undang-undang tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang dapat memperkuat desentralisasi fiskal untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dari sisi sektor keuangan, saat ini Pemerintah bersama dengan parlemen masih terus melakukan pembahasan terkait penyusunan reformasi pengembangan dan penguatan sektor keuangan. Reformasi mungkin tidak akan menghasilkan manfaat langsung, namun akan mendukung pertumbuhan dan penyangga fiskal dalam jangka panjang. (*)